Hidup ini nggak pernah benar-benar tenang. Ada hari-hari di mana semuanya terasa berat, kepala penuh, hati sesak, dan kita cuma ingin berhenti sejenak dari semuanya. Tapi dunia terus berjalan, dan kita pun dipaksa ikut bergerak, meskipun dalam hati kita merasa hilang arah.
Dzikir hadir bukan untuk membuat semua masalah hilang, tapi untuk membuat kita kuat menghadapinya. Ia tidak menjanjikan dunia jadi mudah, tapi memberi ruang agar hati kita tetap utuh. Dalam psikologi, dzikir adalah bentuk alami dari penyembuhan—membantu kita mengenali, menerima, dan melepaskan emosi negatif. Dalam tasawuf, dzikir adalah napas ruhani—membawa kita mendekat, bukan hanya kepada Allah, tapi juga pada diri kita sendiri yang selama ini kita tinggalkan.
Dan di antara semua hiruk pikuk hidup, dzikir adalah bisikan paling lembut yang berkata, “Kamu tidak sendiri. Allah dekat. Hatimu masih hidup. Dan kamu masih bisa pulang.”
Mungkin kita nggak bisa menghindari rasa marah, kecewa, atau sedih. Tapi lewat dzikir, kita belajar berdamai. Bukan dengan keadaan, tapi dengan diri sendiri.
Karena sesungguhnya, di balik setiap kalimat dzikir yang kita ucapkan, ada harapan yang kita selipkan—dan ada cinta Tuhan yang selalu mendengar, bahkan saat kita tak sanggup berkata apa-apa.