Dalam dunia psikologi, emosi bukan sekadar “perasaan.” Emosi adalah energi yang bergerak, bereaksi, dan kadang tersimpan terlalu lama dalam tubuh kita. Ketika kita sedih, jantung bisa berdetak lebih cepat. Saat marah, otot kita menegang. Dan ketika cemas, napas kita jadi pendek-pendek, pikiran berlari ke mana-mana. Itu semua nyata, terukur. Tapi sering kali, kita sendiri nggak paham kenapa tubuh kita terasa lelah, padahal kita cuma “banyak mikir.”
Psikologi modern mencoba menjawab ini lewat konsep regulasi emosi—kemampuan seseorang untuk mengelola perasaan tanpa tenggelam di dalamnya. Salah satu cara terbaik untuk regulasi ini adalah dengan praktik yang mirip mindfulness: duduk tenang, sadar napas, dan mengalihkan perhatian ke hal yang menenangkan. Nah, di sinilah dzikir masuk sebagai bentuk paling sederhana, tapi juga paling dalam dari mindfulness spiritual.
Mengulang kalimat “La ilaha illallah” atau “Astaghfirullah” sambil menyadari napas bukan cuma ibadah, tapi juga terapi. Kata-kata itu jadi jangkar di tengah pikiran yang terombang-ambing. Otak yang tadinya sibuk overthinking mulai pelan. Hormon stres seperti kortisol menurun. Dalam penelitian, hal ini terbukti bisa menenangkan sistem saraf dan membantu orang lebih fokus dan damai.
Tapi dzikir bukan cuma soal pikiran yang tenang. Dalam dunia tasawuf, dzikir adalah cahaya yang menyucikan hati. Para sufi percaya bahwa hati manusia itu seperti cermin. Ketika cermin itu tertutup debu—dari amarah, iri, kecewa, sedih—maka dzikir adalah cara membersihkannya. Bukan berarti semua luka langsung hilang, tapi dzikir membantu kita melihat luka itu dari tempat yang lebih dalam dan penuh penerimaan.
Dalam tasawuf, dzikir itu bukan tentang jumlah, tapi tentang kehadiran hati. Mungkin kita mengucap satu kalimat dzikir, tapi kalau hadir sepenuh hati, itu bisa lebih berarti dari seribu kali pengulangan yang kosong. Karena yang disapa dalam dzikir bukan hanya Tuhan, tapi juga diri kita sendiri yang sedang rapuh.
Dan di titik itulah psikologi dan tasawuf bertemu. Dua dunia yang kelihatannya berbeda—satu ilmiah, satu spiritual—ternyata menyentuh luka yang sama: jiwa manusia yang sedang mencari jalan pulang.