Syiar Baitulloh
Setelah hati digerakkan oleh kerinduan untuk datang ke rumah Allah, langkah berikutnya adalah menghidupkan syiar. Rindu tanpa syiar ibarat api tanpa cahaya—ia bergejolak di dalam hati, tetapi tidak memberi terang bagi orang lain. Syiar adalah upaya seorang hamba untuk menjadikan cintanya kepada Baitulloh bukan sekadar milik pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang.
1. Pengertian Syiar dalam Perspektif Islam
Kata syiar berasal dari bahasa Arab sya‘āra yang bermakna tanda, simbol, atau sesuatu yang ditinggikan sebagai pengingat. Dalam Islam, syiar merujuk pada segala sesuatu yang menunjukkan kebesaran Allah dan menghidupkan semangat ibadah.
Al-Qur’an menegaskan:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj: 32)
Syiar bukan hanya ucapan di mimbar, melainkan juga sikap hidup. Ketika seseorang mengingatkan orang lain tentang pentingnya shalat, ketika ia menceritakan keindahan haji dan umrah, atau bahkan ketika ia berbagi pengalaman spiritual di tanah suci—semua itu adalah bagian dari syiar.
Maka, Syiar Baitulloh adalah usaha seorang Muslim untuk memuliakan rumah Allah, menumbuhkan cinta kepada Ka‘bah, dan menyalakan api rindu di hati orang lain agar mereka juga terdorong untuk berangkat.
2. Baitulloh sebagai Pusat Spiritual Umat Islam
Baitulloh bukan hanya bangunan bersejarah, melainkan poros spiritual umat Islam. Dari sana dimulai sejarah tauhid, dari sana pula lahir energi spiritual yang menggetarkan hati seluruh Muslim.
Ada beberapa dimensi keagungan Baitulloh yang menjadikannya pusat spiritual:
Dimensi Tauhid: Ka‘bah adalah simbol penyembahan hanya kepada Allah, tanpa sekutu.
Dimensi Kesatuan: Jutaan umat Islam dari seluruh dunia, dengan bahasa dan budaya berbeda, bertemu dalam satu kiblat, satu doa, satu tujuan.
Dimensi Doa dan Rahmat: Setiap doa di sekitar Ka‘bah diyakini lebih dekat dikabulkan, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus ribu shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Baitulloh adalah pusat gravitasi hati. Seperti magnet yang menarik besi, Ka‘bah menarik jiwa-jiwa yang beriman untuk datang, meski sekali seumur hidup
3. Menyebarkan Kebaikan sebagai Bekal Perjalanan
Syiar Baitulloh tidak berhenti pada lisan, tetapi harus diwujudkan dalam amal kebaikan. Mengapa? Karena perjalanan menuju rumah Allah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin.
Banyak orang mampu membeli tiket ke tanah suci, tetapi tidak semua orang benar-benar layak diundang. Yang membuat seorang hamba layak adalah amalnya, niatnya, dan usahanya menyebarkan kebaikan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang melakukannya.”
(HR. Muslim)
Dengan kata lain, jika kita mengajak orang lain untuk merindukan Baitulloh, kita pun mendapat bagian pahala seolah-olah kita ikut membersamai mereka.
Bekal terbaik bukanlah uang semata, melainkan hati yang dipenuhi dengan amal shalih: menolong sesama, menyantuni yatim, menyebarkan ilmu, menguatkan ukhuwah, dan berdoa agar semakin banyak saudara kita yang mampu berangkat.
Syiar Baitulloh berarti menjadikan perjalanan kita bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga membawa cahaya bagi orang lain.
Kisah Inspiratif: Tukang Ojek Jadi Penyebar Syiar
Di sebuah kota kecil, seorang tukang ojek langganan selalu bercerita kepada penumpangnya tentang keindahan haji dan umrah. Ia belum pernah ke Mekah, tetapi kerinduannya begitu kuat. Ia sering berkata: “Kalau kita rindu dan menabung doa, Allah pasti undang. Jangan takut miskin, Allah Maha Kaya.”
Lama-lama, banyak penumpang yang termotivasi. Ada yang akhirnya mendaftar umrah, ada yang mengajak keluarga menabung bersama. Ajaibnya, setelah bertahun-tahun, tukang ojek itu sendiri dihadiahi tiket umrah oleh seorang jamaah yang terinspirasi olehnya.
Inilah syiar: meski ia belum sampai, ia menyebarkan cahaya rindu, dan Allah membalas dengan undangan ke tanah suci.
Syiar Karena Rindu Baitullah
Syiar Baitulloh adalah panggilan untuk tidak hanya menyimpan kerinduan di dalam hati, tetapi membaginya kepada dunia. Dengan syiar, rindu itu menyebar, doa itu menguat, dan perjalanan menuju Baitulloh menjadi lebih bermakna.
Barangsiapa merindukan rumah Allah, jangan batasi diri dengan pikiran “saya tidak mampu”. Sebaliknya, jadikan kerinduan itu sebagai syiar: sebarkan kebaikan, nyalakan harapan, dan percayalah—Allah akan membuka jalan dengan cara yang menakjubkan.