Dzikir: Pelukan Sunyi Saat Emosi Tak Terucap
Pernah nggak, kamu ngerasa kayak semua hal di dunia ini berjalan terlalu cepat? Deadline numpuk, ekspektasi orang tinggi, hati rasanya capek banget. Kadang bukan karena hal besar, tapi justru karena hal-hal kecil yang terus-menerus numpuk. Sampai akhirnya kamu cuma bisa duduk diam, merasa kosong, dan bertanya: “Kenapa ya, aku ngerasa kayak gini?”
Emosi negatif seringkali datang diam-diam. Kita nggak selalu bisa nunjukin, apalagi cerita. Karena dunia ngajarin kita buat kuat terus, padahal dalam hati kita cuma pengen didengar, pengen dikuatkan.
Di titik seperti itu, sebagian orang nyari pelarian ke musik, overthinking, bahkan menangis sendirian. Tapi ada juga yang mulai menemukan kenyamanan dalam dzikir—menyebut nama Allah dalam hati yang remuk, pelan-pelan. Nggak ada yang berubah drastis, tapi ada yang terasa lebih ringan.
Dzikir bukan mantra ajaib. Tapi dalam dzikir, ada ruang sunyi yang menyembuhkan. Dalam psikologi, ini disebut proses regulasi emosi—cara buat mengelola perasaan tanpa harus melawannya. Sementara dalam tasawuf, dzikir adalah jalan pulang ke dalam diri, lalu kembali kepada-Nya. Saat lidah kita menyebut “Allah,” sebenarnya hati kita sedang bicara, sedang jujur pada diri sendiri dan pada Tuhan.
Ilmu psikologi bilang, repetisi kata-kata dalam dzikir bisa bantu menenangkan sistem saraf. Detak jantung melambat, pikiran mulai lebih jernih. Tapi lebih dari itu, dzikir menyentuh bagian terdalam dalam diri kita yang sering kita abaikan—jiwa.
Karena di dunia yang keras ini, kadang kita cuma butuh satu hal: tempat untuk beristirahat. Dan dzikir, seringkali menjadi tempat itu. Sunyi, tapi hangat. Hening, tapi penuh makna.