Air Mata Ibrahim: Cinta Ayah yang Menyentuh Langit


Air Mata Ibrahim: Cinta Ayah yang Menyentuh Langit

Oleh: swdnoor

Setiap kali Idul Adha tiba, kita mengenang kembali kisah pengorbanan besar Nabi Ibrahim. Tapi pernahkah kita membayangkan: bagaimana perasaan Ibrahim saat diperintahkan menyembelih anaknya sendiri?

Ini bukan sekadar kisah nabi dan wahyu. Ini adalah cerita tentang cinta yang dalam, air mata yang jatuh diam-diam, dan kepasrahan seorang ayah kepada Tuhannya.

Ibrahim menanti puluhan tahun untuk memiliki seorang anak. Ketika Ismail lahir, ia bukan sekadar buah hati, tapi juga jawaban atas doa panjang yang dilangitkan dengan penuh harap dan sabar. Ismail adalah tawa dalam sunyi, pelita di usia senja.

Namun tiba-tiba, datang perintah dari langit: “Sembelihlah anakmu.” Bayangkan! Anak yang ditunggu, dibesarkan dengan cinta, justru harus dilepas dengan tangan sendiri. Hati mana yang tak bergetar?

Tapi Ibrahim tak melawan. Ia hanya datang pada Ismail, dan dengan suara bergetar berkata, “Wahai anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Apa pendapatmu?”

Jawaban Ismail membuat langit pun terdiam: “Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Dua hati yang saling mencintai, saling menyerahkan diri. Cinta mereka bukan menjadi penghalang ketaatan, tapi justru menjadi jembatan menuju Tuhan.

Air mata Ibrahim bukan tanda kelemahan, melainkan cahaya. Ia menangis bukan karena tak ikhlas, tapi karena terlalu mencintai—dan justru karena cinta itu, ia rela melepaskan. Ia ajarkan kepada dunia: bahwa mencintai bukan berarti memiliki, tapi siap menyerahkan jika Tuhan yang meminta.

Di bukit itu, bukan Ismail yang disembelih. Tapi ego, keterikatan, dan keakuan manusia terhadap dunia. Itulah makna sejati qurban—pengorbanan bukan tentang darah hewan, tapi tentang hati yang berani melepas apa yang paling dicintai.

Idul Adha bukan sekadar tentang menyembelih kambing atau sapi. Ia adalah momentum untuk meneladani jiwa besar Ibrahim: ayah yang mencintai, namun lebih mencintai Allah. 

Maka, jika hari ini kita diuji untuk melepas—rencana, harta, atau bahkan seseorang—ingatlah Ibrahim. Karena kadang, yang kita kira pengorbanan, ternyata adalah jalan pulang menuju kedalaman cinta Ilahi.

Penutup:

Mari kita tidak hanya merayakan Idul Adha dengan tradisi, tapi juga dengan perenungan. Karena bisa jadi, dalam hidup kita pun ada "Ismail-Ismail" yang perlu kita relakan demi cinta yang lebih tinggi.